BahanaInspirasi.com, MANADO – Regulasi Pemilihan Umum (Pemilu) Daerah -Pilkada masih menyisakan pertanyaan dari kalangan pengamat politik dan ekonomi nasional.
Seperti diketahui, keputusan MK No.6/2024 telah membuka kebuntuan pencalonan pemimpin daerah.
Hanya saja, dari sisi partisipasi untuk koalisi batas atas tidak ada regulasi yang mengaturnya.
Hal ini terungkap adalam diskusi public INDEF, baru-baru ini, bertajuk “Ekonomi Politik Persaingan Pilkada 2024” di Jakarta.
Alhasil, dengan hingar pilkada 2024, tercatat Calon Tunggal sebanyak 41 Pilkada serta banyak Cakada yang mendapat dukungan dari separuh partai politik daerah.
Karena itu, Perludem Minta Revisi UU PIlkada Masukkan Batas Atas Dukungan. Ini, ditegaskan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati.
Karena itu, Direktur Perludem ini menyatakan kekhawatirannya pada Pilkada 2024 yang diselenggarakan pada tahun yang sama dengan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) sehingga terdapat kecenderungan untuk menerapkan koalisi nasional pada tingkat pemerintah.
“Bahkan, setelah perpanjangan, masih terdapat 41 pilkada dengan calon tunggal dan banyak pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan salah satu paslon memborong dukungan partai politik sehingga membentuk koalisi besar dengan suara pileg melebihi 50 %.
Khoirunnisa Nur Agustyati menambahkan, walau keputusan MK nomor 60/2024 menurunkan batas dukungan pasangan pasangan calon (paslon) di pilkada menjadi 6-10 % serta membuka pintu partai non parlemen untuk mengusung paslon di pilkada, tapi revisi UU Pilkada berikutnya perlu memasukkan batas atas/maksimal dukungan paslon di pilkada.
Persaingan Tidak Sehat
Berly Martawardaya sebagai Direktur Riset INDEF memaparkan hasil kajian lembaganya dengan menerapkan kerangka analisis ekonomi persaingan usaha pada pilkada 2024 bahwa pada pemilihan gubernur (pilgub) Jakarta, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan, biarpun terdapat dua paslon, tapi satu paslon didukung lebih dari 75% suara pileg dan pilkadanya memiliki Indeks Persaingan lebih dari 6.000.
“Angka tersebut berarti melebihi 1,5 kali batas yang diterapkan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) untuk persaingan usaha. Hal serupa terjadi pada pemilihan bupati di Jember dan Bogor sehingga banyak pilkada memiliki persaingan yang tidak sehat.”
Berly mengutarakan, banyak kemiripan antara persaingan usaha dan persaingan politik, tapi regulasi di persaingan politik lebih sedikit dan longgar.
Padahal, dampak dari rendahnya pilihan dan persaingan akan terasa pada pembangunan daerah tersebut selama lima tahun ke depan.
Berly menutup paparan dengan mengajak para akademisi dan aktivis untuk menyiapkan kerangka dan regulasi untuk persaingan politik yang lebih sehat di 2019 sejak dini supaya bonus demografi Indonesia tidak tersia-siakan.
Aditya Perdana, Pengajar Ilmu Politik UI dan Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting menambahkan, kompetisi dalam Pilkada 2024 relatif tidak sehat karena masih didominasi oleh kekuatan koalisi partai politik yang dominan di pusat.
Kompetisi yang terbuka dan lebih sehat perlu terus didorong bagi perkembangan demokrasi lokal. Penguatan demokrasi dapat dilakukan dalam Pilkada 2029 bila masyarakat sipil konsisten mendorong revisi UU Pilkada dari sekarang.
(redaks)
Artikel ini telah terbit di https://bisnistoday.co.id/menyoroti-koalisi-gemuk-di-pilkada-2024/