BahanaInspirasi.com, MANADO – Kementerian yang menaungi bidang pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan nomenklatur sejak era kemerdekaan hingga saat ini.
Pendidikan telah lama diakui sebagai pilar fundamental dalam pembangunan bangsa Indonesia. Sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa menyadari bahwa untuk membangun negara yang baru merdeka, diperlukan sistem pendidikan yang kuat dan mandiri.
Sistem ini harus mampu membebaskan rakyat dari belenggu kebodohan warisan kolonialisme, sekaligus mempersiapkan generasi penerus yang mampu memajukan bangsa di kancah global.
Dalam perjalanan 79 tahun sejak kemerdekaan, Indonesia telah menyaksikan tujuh era kepresidenan, masing-masing membawa visi dan misi yang berbeda dalam memajukan pendidikan nasional.
Setiap pergantian kepemimpinan nasional seringkali diikuti dengan perubahan struktur dan nomenklatur Kementerian Pendidikan, mencerminkan prioritas dan fokus kebijakan pendidikan yang berbeda-beda.
Setiap perubahan mencerminkan upaya pemerintah untuk merespon tantangan zaman, menyesuaikan dengan perkembangan global, dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berevolusi.
Dari fokus awal pada pengajaran dasar pasca-kemerdekaan, hingga integrasi teknologi dan inovasi di era digital, perjalanan Kementerian Pendidikan adalah saksi bisu dari perjalanan bangsa Indonesia dalam mencari bentuk ideal pendidikan nasionalnya.
Berikut perkembangan perubahan nomenklatur kementerian pendidikan dari masa ke masa :
1. Kementerian Pengajaran (1945-1950)
Pada awal kemerdekaan Indonesia, lembaga yang bertanggung jawab atas pendidikan dikenal dengan nama Kementerian Pengajaran. Periode ini menandai langkah awal bangsa Indonesia dalam mengelola sistem pendidikan nasionalnya secara mandiri, lepas dari pengaruh kolonial.
Menteri Pertama : Ki Hajar Dewantara (22 Agustus – 14 November 1945)
Menteri-menteri berikutnya :
Mr. T.S.G. Mulia (14 November 1945 – 12 Maret 1946)
Mohd. Sjafei (12 Maret – 2 Oktober 1946)
Mr. Soewandi (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947)
Mr Ali Sastroamidjojo (3 Juli 1947 – 4 Agustus 1949)
Sarmidi Mangunsarkoro (4 Agustus 1949 – 6 September 1950)
Fokus utama dari kementerian Pengajaran era ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional yang berwawasan kebangsaan serta menghapuskan sistem pendidikan kolonial dan menggantinya dengan sistem pendidikan nasional serta pemberantasan buta huruf.
Dan pada era ini, capaian penting yang terwujud berupa pembentukan kurikulum nasional pertama yang berfokus pada semangat nasionalisme serta perumusan falsafah pendidikan nasional yang berlandaskan Pancasila.
Selain itu, kementerian pengajaran juga berhasil mendirikan sekolah-sekolah baru pasca kemerdekaan serta mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah.
Meskipun struktur organisasinya masih sederhana, Kementerian Pengajaran di era ini berhasil meletakkan fondasi penting bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.
Ki Hajar Dewantara, sebagai menteri pertama, memperkenalkan filosofi pendidikan “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” yang masih relevan hingga saat ini.
Pada masa ini, tantangan utama adalah keterbatasan sumber daya, baik manusia maupun infrastruktur, serta kebutuhan untuk mentransformasi sistem pendidikan warisan kolonial menjadi sistem yang mencerminkan identitas dan kebutuhan bangsa Indonesia.
2. Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K) (1951-1959)
Memasuki era 1950-an, terjadi perubahan nomenklatur menjadi Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K).
Perubahan ini menandai integrasi aspek kebudayaan ke dalam lingkup kerja kementerian, mencerminkan kesadaran akan pentingnya memadukan pendidikan dengan nilai-nilai budaya nasional.
Menteri-menteri yang menjabat :
Dr. Bahder Johan (6 September 1950 – 20 Maret 1951)
Mr. Wongsonegoro (20 Maret – 3 April 1951)
Mr. Soewandi (3 April – 28 April 1951)
Dr. Sarmidi Mangoensarkoro (28 April 1951 – 3 Juni 1952)
Prof. Dr. Bahder Johan (3 Juni – 30 Juli 1953)
Mr. Mohammad Yamin (30 Juli – 12 Agustus 1955)
Prof Ir R.M. Suwandi (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Ki Sarino Mangun Pranoto (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
Prof Dr Prijono (9 April 1957 – 10 Juli 1959)
Fokus Utama nya untuk mengintegrasikan pendidikan dengan aspek kebudayaan nasional, pengembangan kurikulum yang mencerminkan identitas dan kebutuhan bangsa, serta perluasan akses pendidikan ke daerah-daerah.
Untuk capaian penting yang patut diapresiasi pada masa kementerian PP dan K berupa lahirnya UU Pokok Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950 jo UU Nomor 12 Tahun 1954, pengembangan kurikulum yang lebih komprehensif, termasuk aspek kebudayaan, serta peningkatan jumlah dan kualitas tenaga pengajar.
Selain itu, Pendirian lembaga-lembaga pendidikan guru dan pengembangan pendidikan kejuruan dan vokasi juga berhasil dilakukan pada masa ini.
Era ini ditandai dengan upaya untuk memajukan pendidikan formal dengan nilai-nilai kebudayaan Indonesia. UU Pokok Pendidikan yang lahir pada masa ini menjadi landasan hukum yang kuat bagi pengembangan sistem pendidikan nasional.
Tantangan utama pada periode ini adalah menyeimbangkan kebutuhan akan standarisasi pendidikan nasional dengan keragaman budaya di berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, perluasan akses pendidikan ke daerah-daerah terpencil juga menjadi fokus utama.
3. Kementerian Muda Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K) (1959-1966)
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri era demokrasi parlemen, diganti era demokrasi terpimpin. Dalam kabinet kerja I, 10 Juli 1959 – 18 Februari 1960, status kementerian diubah menjadi menteri muda. Kementerian yang mengurusi pendidikan dibagi menjadi tiga menteri muda.
Menteri Muda Bidang Sosial Kultural dipegang Dr. Prijono, Menteri Muda PP dan K dipegang Sudibjo, dan Menteri Muda Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat dipegang Sujono.
Fokus utama dari kementerian era ini adalah penyesuain sistem pendidikan dengan ideologi Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme), peningkatan partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta penguatan aspek budaya dalam pendidikan nasional.
Era ini ditandai dengan upaya untuk menyelaraskan sistem pendidikan dengan visi politik Presiden Soekarno. Sistem Pendidikan Pancawardhana yang diperkenalkan mencakup lima aspek pengembangan: moral, intelektual, emosional/artistik, kaparigelan (keterampilan), dan jasmani.
Tantangan utama pada periode ini adalah menyeimbangkan tujuan ideologis pendidikan dengan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia untuk pembangunan nasional. Selain itu, keterbatasan anggaran akibat kondisi ekonomi yang sulit juga menjadi kendala dalam pengembangan infrastruktur pendidikan.
4. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1966-1998)
Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, nomenklatur yang digunakan adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud).
Ini merupakan periode terpanjang penggunaan satu nomenklatur dalam sejarah kementerian pendidikan Indonesia.
Menteri-menteri penting yang pernah menjabat :
Dr. Daud Joesoef (1978-1983)
Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (1983-1985)
Prof. Dr. Fuad Hassan (1985-1993)
Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro (1993-1998)
Fokus utama era ini berupa standarisasi sistem pendidikan nasional, pembangunan infrastruktur pendidikan secara masif, peningkatan angka partisipasi sekolah, serta pengembangan kurikulum nasional yang seragam.
Capaian penting berupa implementasi wajib belajar 6 tahun (1984) dan kemudian 9 tahun (1994), pembangunan masif sekolah-sekolah Inpres di seluruh Indonesia, penerapan Kurikulum 1975, 1984, dan 1994
Selain itu, juga berhasil dalam pendirian universitas-universitas negeri di berbagai provinsi, pengembangan program-program pendidikan non-formal dan pendidikan luar sekolah, serta implementasi Sistem Kredit Semester (SKS) di perguruan tinggi.
Era Orde Baru ditandai dengan pembangunan infrastruktur pendidikan yang masif dan standarisasi sistem pendidikan nasional. Program-program seperti SD Inpres berhasil meningkatkan akses pendidikan dasar secara signifikan.
Namun, periode ini juga menuai kritik karena sentralisasi yang kuat dan penggunaan pendidikan sebagai alat kontrol politik.
Tantangan utama pada era ini adalah menyeimbangkan antara upaya standarisasi dengan kebutuhan akan pendidikan yang relevan dengan konteks lokal. Selain itu, kualitas pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil, masih menjadi isu yang perlu ditangani.
5. Departemen Pendidikan Nasional (1998-2011)
Pada masa Reformasi, tepatnya di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, terjadi perubahan nomenklatur menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Perubahan ini menandai fokus baru pada aspek nasionalisme dalam pendidikan dan upaya reformasi sistem pendidikan pasca Orde Baru.
Menteri-menteri yang menjabat:
Dr. Yahya Muhaimin (1999-2001)
Prof. Drs. A. Malik Fadjar, M.Sc (2001-2004)
Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA (2004-2009)
Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA (2009-2011)
Fokus utama reformasi sistem pendidikan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari peningkatan mutu pendidikan nasional hingga desentralisasi manajemen pendidikan.
Langkah-langkah penting juga diambil untuk meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik dan mengembangkan pendidikan berbasis kompetensi.
Beberapa capaian signifikan dari upaya ini meliputi lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, yang menjadi landasan bagi implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004.
Selain itu, Ujian Nasional (UN) mulai diterapkan sebagai standar evaluasi nasional. Dalam upaya meningkatkan kualitas pengajar, program sertifikasi guru diinisiasi, sementara Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) diterapkan untuk memperkuat otonomi sekolah.
Di setiap provinsi, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) didirikan untuk memastikan kualitas pendidikan yang merata.
Reformasi ini juga mencakup pengembangan pendidikan inklusif serta pendidikan khusus, guna memenuhi kebutuhan semua peserta didik.
Periode ini ditandai dengan upaya reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan nasional, termasuk perubahan paradigma dari teacher-centered menjadi student-centered learning.
Desentralisasi pendidikan memberi wewenang lebih besar kepada pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam mengelola pendidikan.
Tantangan utama era ini adalah mengatasi kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah sebagai dampak dari desentralisasi, serta meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja dan perkembangan global.
6. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011-2021)
Tahun 2011 menandai kembalinya penggunaan istilah “kementerian” menggantikan “departemen”. Unsur kebudayaan juga kembali dimasukkan, sehingga namanya menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Menteri-menteri yang menjabat:
Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA (2011-2014)
Anies Baswedan, Ph.D. (2014-2016)
Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P. (2016-2019)
Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A. (2019-2021)
Fokus utamanya mencakup berbagai aspek penting, seperti pelestarian budaya, penguatan pendidikan karakter, peningkatan akses dan kualitas pendidikan vokasi, serta transformasi digital dalam pendidikan.
Beberapa capaian penting dari upaya tersebut antara lain implementasi Kurikulum 2013 yang menitikberatkan pada pendidikan karakter, serta pelaksanaan program digitalisasi sekolah dan pengembangan platform pembelajaran digital.
Pendidikan vokasi juga diperkuat melalui program link-and-match dengan industri, sementara kebijakan Merdeka Belajar diimplementasikan untuk memberi lebih banyak fleksibilitas dalam proses pembelajaran.
Pada pendidikan tinggi, inisiatif Kampus Merdeka dikembangkan untuk memberikan kesempatan lebih luas kepada mahasiswa. Selain itu, revitalisasi pendidikan untuk pelestarian budaya turut menjadi prioritas.
Selama masa pandemi Covid-19, penanganan pendidikan juga menjadi fokus utama dengan berbagai kebijakan adaptif yang mendukung keberlanjutan proses belajar-mengajar.
Era ini ditandai dengan upaya untuk menyeimbangkan aspek pendidikan dan kebudayaan, serta adaptasi terhadap tantangan era digital dan Revolusi Industri 4.0. Kebijakan Merdeka Belajar yang diinisiasi oleh Menteri Nadiem Makarim membawa perubahan signifikan dalam paradigma pendidikan nasional.
Tantangan utama pada periode ini adalah menyiapkan sistem pendidikan yang adaptif terhadap perubahan cepat di era digital, serta mengatasi dampak pandemi COVID-19 terhadap proses pembelajaran.
7. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2021-sekarang)
Pada tahun 2021, di bawah kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim, terjadi penggabungan dengan Kementerian Riset dan Teknologi, membentuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).
Menteri : Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A.
Fokus utama kebijakan ini terletak pada integrasi pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi, serta penguatan ekosistem riset dan inovasi nasional.
Transformasi digital dalam pendidikan juga menjadi prioritas, bersamaan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi.
Beberapa capaian penting mencakup penguatan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, yang memberikan fleksibilitas lebih kepada mahasiswa.
Selain itu, riset dan teknologi mulai diintegrasikan dalam kurikulum di berbagai jenjang pendidikan. Peningkatan kolaborasi antara dunia pendidikan, riset, dan industri juga menjadi fokus untuk memperkuat relevansi hasil riset dalam sektor industri.
Dalam hal pembelajaran digital, pengembangan platform terintegrasi telah dilakukan, sementara implementasi Kurikulum Merdeka dan Kurikulum Prototype bertujuan untuk menyesuaikan sistem pendidikan dengan kebutuhan masa depan.
8. Kementerian Pendidikan Dipecah Tiga di Era Prabowo
Kementerian Pendidikan dipecah ke dalam tiga lembaga/instansi di Kabinet Merah Putih di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Ada tiga menteri yang memimpin yakni Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dipegang Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro, dan Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
(redaksi)
Artikel ini telah terbit di https://www.cnbcindonesia.com/research/20241021144512-128-581724/79-tahun-ri-merdeka-kementerian-ini-paling-sering-gonta-ganti-nama