BahanaInspirasi.com, MANADO – Menjelang Joko Widodo lengser pada periode kedua kekuasaannya, 20 Oktober nanti, kami memutuskan untuk memeriksa janji-janjinya, melihat apa yang telah dia perbuat.

Dalam salah satu janji kampanye Joko Widodo atau Jokowi pada 2014 menyangkut rupiah. Kala itu Jokowi menjanjikan jika terpilih menjadi presiden, nilai tukar rupiah bakal menguat hingga di bawah Rp 10 ribu per dolar Amerikar Serikat (dolar AS).

10 tahun berselang dari janji itu, menjelang berakhirnya pemerintahan Jokowi, rupiah terus meriang. Pada akhir perdagangan Jumat, rupiah tergelincir 51 poin atau 0,31 persen menjadi Rp 16.301 per dolar AS dari sehari sebelumnya sebesar Rp 16.250 per dolar AS.

Tentu saja, banyak faktor yang mempengaruhi turun naiknya rupiah, baik eksternal maupun internal. Tapi ini termasuk salah satu janji saat masa kampanye, yang pada akhirnya tak sanggup dipenuhi Jokowi.

Dari internal di dalam negeri, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyebut, pasar terus memantau perkembangan utang luar negeri (ULN) Indonesia ke China yang terpantau membengkak dalam 10 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi.

“Posisi terakhir pada Mei 2024 senilai US$ 22,86 miliar atau setara Rp 372,3 triliun (kurs Jumat, 26 Juli 2024 Rp 16.288 per dolar AS),” kata Ibrahim dalam analisisnya Jumat akhir pekan lalu.

Masih menurut Ibrahim dalam analisisnya, berdasarkan data statististik utang luar negeri milik Bank Indonesia (BI), secara umum posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir Mei 2024 ini berada di angka US$ 407,3 miliar atau setara Rp 6.634,1 triliun.

Posisi tersebut naik 1,8 persen (year on year atau yoy) dari Mei 2023 yang mencapai Rp 400,24 miliar.

Dampak rupiah meriang, satu per satu industri dalam negeri mulai tumbang dipukul pelemahan rupiah.

Nilai tukar rupiah yang keok di hadapan dolar AS menghantam salah satunya industri tekstil dan garmen, karena sektor ini sangat bergantung pada bahan baku impor.

Ada industri yang memilih tetap bertahan dengan keuntungan tipis, karena mau tak mau harus menjual produk di bawah harga pokok penjualan (HPP).

Ditambah lagi, kalah bersaing dengan produk jadi hasil impor.

“Tidak ada untung. Kalau yang speciality market, masih untung. Tapi kalau yang produk-produk basic, sudah gak ada untung. Malah sudah jual di bawah HPP, makanya pada tutup,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, pada Jumat, 26 Juli 2024.

Akibat menjual produk di bawah HPP, akhirnya modal kerja perusahaan habis tergerus. Sejak awal 2024 saja, Redma mencatat, sudah 21 industri tekstil gulung tikar.

“Bahkan beberapa perusahaan masih bersengketa dengan karyawan, karena gak bisa bayar pesangon. Cash flow sudah gak ada.”

Di bawah asosiasinya sendiri, tergabung 23 perusahaan. Hingga kini, sudah ada dua perusahaan yang tutup. Satu di antaranya tutup tahun lalu dan satu lagi menyusul tahun ini. Sementara itu, 10 perusahaan sudah mencicil pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya.

“Yang jalannya (operasional) 50 persen itu ada lima (perusahaan). Yang lain jalannya masih ada 60-70 persen,” kata Redma.

Sebenarnya, menurut perhitungan Redma, nilai tukar yang aman untuk industri adalah Rp 14.000-14.500.

“Sebetulnya kalau di Rp 14.000 sampai Rp 14.500 stabil di situ, sudah cukup bagus buat kami,” katanya.

Ketua Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman berharap pemerintah bisa mengendalikan rupiah agar tidak melebihi Rp 16.500 per dolar AS.

“Jika melebihi angka itu, dampaknya akan sangat besar terhadap produksi produk pangan dalam negeri,” ujar Adhi saat ditemui di Artotel Senayan, Jakarta, Senin, 22 Juli 2024.

Dia mengungkapkan pelemahan rupiah menaikkan ongkos produksi hingga 3 persen. Pasalnya, kata Adhi, sebagian besar bahan baku dan ingredients produk pangan di Indonesia masih diimpor.

Menurut Adhi, pelemahan rupiah sangat berdampak kepada produsen produk makanan yang masih berskala kecil dan menengah. Dia mengatakan, produsen dari UMKM tidak bisa menyetok bahan baku dalam jumlah besar, sehingga harus mengeluarkan biaya mengikuti kenaikan harga pangan yang diimpor.

(redaksi)

Artikel ini telah terbit di https://bisnis.tempo.co/read/1896969/edisi-khusus-10-tahun-pemerintahan-jokowi-rapor-merah-rupiah-kurs-meriang-dan-industri-kelimpungan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Developer