BahanaInspirasi.com, MANADO – Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bangka Belitung (Babel) Ahmad Subhan Hafiz mengungkapkan, banyak anggota masyarakat di kepulauan tersebut, kini tidak lagi memegang nilai adat untuk menjaga alam.
Pernyataan ini disampaikan Subhan saat menjadi saksi dalam persidangan dugaan korupsi tata niaga komoditas timah dengan terdakwa Harvey Moeis dan kawan-kawan.
Subhan menjelaskan bahwa ekspansi kegiatan penambangan telah mengubah kebudayaan masyarakat menjadi kebudayaan ekstraktif.
“Pantang larang yang dulu ada nilai-nilainya sekarang tidak lagi ada. Jadi mereka di situ, ada potensi timah di situ juga digali,” ujarnya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (17/10/2024).
Ia menambahkan, bagi masyarakat adat, sebatang pohon tidak hanya diakui dalam tataran spiritual, tetapi juga dianggap mistis.
Mereka memahami fungsi pepohonan sebagai zona penyangga dan penjaga kawasan sumber mata air. Namun, kehadiran tambang merusak ekosistem tersebut.
“Jadi tidak lagi nilai-nilai itu dianggap,” tegas Subhan.
Dalam persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menanyakan penyebab munculnya sejumlah lubang sisa tambang timah yang masih baru dan tidak direklamasi.
Menurut Subhan, lubang-lubang tersebut muncul karena kurangnya komitmen untuk menjaga lingkungan dari para pelaku kegiatan penambangan.
“Saya kira memang tidak ada komitmen sama sekali dalam bentuk kebijakan maupun juga pengusaha-pengusaha yang melakukan eksploitasi tersebut,” tuturnya.
Meski demikian, pengacara terdakwa mempertanyakan sejumlah kajian Walhi yang dipaparkan oleh Subhan.
Mereka mengulik metodologi dan pendekatan yang digunakan Walhi Babel dalam membuat kajian, namun Subhan tampak kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Reza Pahlevi, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.
Perkara ini juga turut menyeret Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Helena Lim Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan.
Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.
Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.
“Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.
Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.
(redaksi)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Walhi Ungkap Dampak Tambang Timah di Babel, Masyarakat Jadi Tak Hargai Nilai Luhur Jaga Lingkungan”, Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2024/10/17/19325351/walhi-ungkap-dampak-tambang-timah-di-babel-masyarakat-jadi-tak-hargai-nilai?page=all#page2.