BahanaInspirasi.com, MANADO – Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstritusi atau Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna dalam Diskusi Terbuka oleh Persma Akademika dan Kerta Aksara Universitas Udayana pada Ahad, 26 Mei 2024 mengatakan, proses penyusunan RUU Penyiaran harus melibatkan meaningful partisipation dan mengganti RUU seluruhnya dengan menghilangkan pasal-pasal bermasalah.

Sebelumnya, Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menuai polemik. Draf yang saat ini dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tersebut dianggap mengancam kebebasan pers di Indonesia.

I Dewa Gede Palguna mengatakan revisi UU Penyiaran harus diganti dengan menghilangkan pasal-pasal bermasalah.

“Dari segi ilmu perundang-undangan nggak cukup kalau ini hanya diubah, harus diganti. Salah satu visi penggantiannya itu adalah menghilangkan pasal bermasalah itu, penggantiannya itu. Dan menambahkan hal-hal yang baru sesuai kebutuhan teknologi.” Kata Palguna, dalam Diskusi terbuka di Universitas Udayana pada Ahad lalu.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud) ini juga menyoroti banyaknya perubahan pada pasal-pasal RUU Penyiaran.

Palguna menyatakan, apabila perubahan undang-undang lebih dari 50 persen, maka itu bukan perubahan melainkan penggantian.

Sementara itu, kata dia, perubahan yang ada dalam RUU terbaru mencapai 60 persen.

“Kalau nggak salah itu mungkin 60 persen ya tambahannya dari undang-undang yang baru ini kan, itu kan secara ilmu perundang-undangan bukan perubahan lagi, itu perubahannya melebihi power rangers itu. Ini banyak sekali lho, pasal yang diubah banyak, pasal yang sisipkan di antara pasal yang existing banyak, bahkan ada penambahan bab itu. Ya makanya sama dengan buat baru,” ujarnya.

Revisi undang-undang ini sebelumnya menuai banyak penolakan dari konstituen pers sebab dianggap kontradiktif dengan UU Pers, selain itu dalam proses penyusuannya tidak melibatkan Dewan Pers sejak awal.

Terkait ketentuan proses penyusunan undang-undang, Palguna menyampaikan, menurut putusan Mahkamah Konstitusi, proses penyusunan undang-undang harus melibatkan meaningfull participation dari publik, atau harus ada partisipasi yang bermakna dari masyarakat atau pemangku kepentingan.

Hal ini, kata dia berlaku baik ketika membuat undang-undang, atau mengubah undang-undang, meaningful participation harus tetap ada.

Sementara itu, menyoal tidak disertakannya UU Pers dalam konsideran RUU Penyiaran, Palguna menilai, secara teori perundang-undangan memang tidak perlu.

“Tidak dicantumkannya undang-undang pers ya itu memang secara teori perundang-undangan tidak perlu dicantumkan, tapi bukan berarti kemudian tidak perlu ada harmonisasi antara undang-undang penyiaran dan undang-undang pers.”

Menurut Palguna perumusan undang-undang harus tetap memperhitungkan keberadaan undang-undang lainnya, sebab bagian terbesar masalah hukum di Indonesia selain rentannya pertentangan vertikal, adalah disharmonisasi horizontal, sehingga membuat kepastian hukum seringkali bermasalah di Indonesia.

“Misalnya kalau ada yang berkaitan dengan problem jurnalisme di dalam undang-undang penyiaran ini. Ini kan yang sering ditanyakan oleh kawan-kawan wartawan, siapa yang nangani KPI atau Dewan Pers? kan problem-nya itu, nah ini yang saya usulkan. Tentu saja KPI mempunyai kewenangan itu, tapi paling tidak harus ada kordinasi dengan Dewan Pers, itu yang nggak ada di rancangan undang-udang ini.” kata dia.

Lebih lanjut, Palguna menyebut ada dua batasan yang harus diperhatikan dalam perumusan undang-undang yakni, tidak merugikan kepentingan publik dan tidak menentang undang-undang dasar.

“Kalau yang pertama ini misalnya ada gugatan publik yang bisa berujung ke mahakamah konstitusi dan kalau itu pertetangannya dengan konstitusi maka berakibat undang-undang itu bisa kehilangan kekuatan mengikatnya sebagai hukum. Itu kan resikonya begitu kalau kita bicara tentang demokrasi.”

Di sisi lain, Kordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Provinsi Bali I Gusti Agung Gede Agung Widiana Kepakisan mengungkapkan, KPI baru mengetahui isi revisi Undang-Undang Penyiaran setelah ramai diperbincangkan.

“Perubahan undang-undang ini sudah pernah mencapai tingkat nomor 1 di prolegnas tahun 2019 artinya dia sudah tinggal dibahas tetapi entah kenapa bisa hilang lagi, setiap tahun komisi I DPR selalu berjanji, tahun depan akan kita sahkan, tahun depan akan kita sahkan sampai saat ini. Kita baru tahu, kami KPI, mungki KPI semuanya baru tahu bahwa begitu isi undang-undangnya, begitu isi pasal-pasalnya padahal KPI tidak pernah membicarakan itu,” kata Widiana.

(redaksi)

Artikel ini telah terbit di https://nasional.tempo.co/read/1872820/ketua-mkmk-i-dewa-gede-palguna-hilangkan-pasal-pasal-bermasalah-di-ruu-penyiaran

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Developer